BAB
I
PENDAHULUAN
Penulis mencoba menghubungkan tentang kepemimpinan dalam
Perjanjian Baru dengan kepemimpinan yang ada di tempat pelayanan, penulis mulai
dari uraian atas makna istilah ‘pemimpin’ dalam Perjanjian Baru sampai pada
tipe dan gaya kepemimpinan yang ada dalam Perjanjian Baru. Beberapa tipe yang
dikemukakan, antara lain tipe idiologis,
kharismatis, dan pemimpin sebagai gembala. Sedangkan beberapa gaya
kepemimpinan yang diuraikan, ialah kepemimpinan
hamba, kepemimpinan gembala, dan kepemimpinan teladan.
A.
LATAR BELAKANG PENULISAN
Kata ‘pemimpin’ dalam bahasa Yunani diterjemahkan dari kata
benda: hodegos (= pemimpin, penuntun, pembimbing). Dalam bentuk kata kerja
dipakai kata: hodegein (memimpin, menuntun, membimbing). Dalam Perjanjian Baru
(selanjutnya PB), kata hodegos dan hodegein dipakai secara bervariasi. Pada
satu pihak kedua kata itu dipakai dalam pengertian yang negatif. Menurut Injil-injil,
beberapa kali Yesus memakai kata hodegos dan hodegein untuk menyapa orang
Farisi dan para ahli Taurat yang dicap sebagai hodegoi tufloi (pemimpin-pemimpin
buta, Mat. 23:16,24), yang memimpin orang buta (hodegein tuflon). Yesus
menegaskan, jika orang buta menuntun orang buta, pasti keduanya jatuh ke dalam
lubang (Mat. 15:14, bnd. Luk. 6:39). Paulus juga memakai istilah itu untuk
menyapa orang-orang Yahudi di Roma sebagai ‘penuntun orang-orang buta’ (hodegon
tuflon, Rm 2:19). Penulis Injil Yohanes menyatakan bahwa apabila Roh Kebenaran
itu datang, Ia memimpin (hodegesei) kamu ke dalam seluruh kebenaran, Yoh.
16:13). Juga dalam kitab Wahyu, istilah itu dikenakan kepada Anak Domba yang di
tengah-tengah takhta itu …akan menuntun (hodegesei) mereka (orang-orang kudus)
ke mata air kehidupan. Kata yang sama dipakai oleh Sida-sida dari Etiophia
ketika ia menjawab pertanyaan Felipus, “Bagaimanakah aku dapat mengerti kalau
tidak ada yang membimbing (hodegesei) aku?” (Kis. 8:31).
Dari pemakaiannya itu maka nyata bahwa kata kerja: memimpin,
menuntun, membimbing, memiliki beberapa arti, antara lain: menunjukkan jalan
terutama berjalan di depan, menuntun, membimbing, mengambil langkah awal,
mempengaruhi orang dengan pandangan dan tindakan, memprakasai, bertindak lebih
dahulu, memelopori, mengarahkan pikiran atau mendapat, menggerakkan orang lain
dengan pengaruhnya, dll.
Dengan menjadi pemimpin, seseorang memperoleh wibawa dan
kedudukan untuk melaksanakan tugas memimpin. Walau demikian, inti suatu
kepemimpinan bukan terletak pada kedudukan dan wibawa, melainkan pada fungsi
atau tugasnya untuk mengabdi. Dalam upaya untuk mencapai cita-cita bersama maka
sang pemimpin berusaha mempengaruhi dan memampukan kelompoknya untuk membangun
suatu mekanisme, yang melaluinya tujuan bersama itu bisa tercapai. Dalam
mekanisme itu ada pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai kemampuan atau
karunia masing-masing anggota. Tanggung jawab itu harus dikerjakan sedemikian
rupa sehingga mencapai hasil yang maksimal.
B. Tujuan Penulisan
Adapun
yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini, antara lain :
Ø Untuk memenuhi sebagian tugas dari mata kuliah
Kepemimpinan Kristen serta yang paling utama untuk meningkatkan pengetahuan
penulis tentang Kepemimpinan Kristen.
Ø Untuk memberikan sumbangsih pemikiran bagi
setiap hamba-hamba Tuhan, bahwa seorang pemimpin harus memiliki kepemimpinan hamba, kepemimpinan
gembala dan kepemimpinan teladan.
C. Batasan Masalah
Agar makalah ini terfokus dan tidak menyimpang
dari judul makalah yang akan di bahas, maka penulis memberikan batasan masalah,
yakni membahas
tentang tipe pemimpin dan gaya kepemimpinan dibandingkan dengan pengamatan saya
mengenai pimimpin dan gaya kepemimpinan Pdp. Maria W. Paruntu adalah yang mewakili gembala SIDANG wilayah Lindeteves Trade
centre- Hayam Wuruk, GBI RAHMAT EMMANUEL.
BAB
II
PEMBAHASAN
MATERI
A.
Mengenal
para Pemimpin dalam Perjanjian Baru.
Alkitab, termasuk PB merupakan bahan yang di dalamnya Allah berfirman kepada
umat-Nya. Namun bila kita membacanya dari kacamata kepemimpinan, maka nyata
bahwa bahan-bahan itu menampilkan juga berbagai jenis pemimpin pada masa
penulisannya.
1.
Pemimpin
Sekuler.
Pemimpin sekuler, yakni mereka yang secara resmi dipilih
atau ditunjuk untuk memangku suatu jabatan tertentu dalam pemerintahan. Mereka
adalah para kaisar yang memerintah di Roma, prokurator (gubernur) yang
memerintah di Pelestina dan para raja bawahan yang memerintah wilayah-wilayah
tertentu di Pale stina pada masa Yesus dan para rasul.
2.
Para
pemimpin di bidang keagamaan.
a.
Para pemimpin Yahudi. Di kalangan masyarakat Yahudi, terdapat banyak pemimpin.
Para pemimpin ini terutama terdiri dari imam kepala, ahli Taurat, dan Farisi.
Merekalah yang banyak disebut-sebut oleh para penulis PB karena sering bersoal
jawab dengan Yesus dan murid-murid-Nya, bahkan mereka inilah yang berusaha
mempengaruhi rakyat untuk membunuh Yesus. Di kemudian hari kelompok pemimpin
ini juga yang menjadi penghambat bagi upaya pekabaran Injil oleh para rasul
terutama pekabaran Injil oleh Paulus.
b.
Pemimpin Komunitas Yesus. Komunitas Yesus adalah satu komunitas grass root.
Mereka terdiri dari para nelayan, petani kecil, pegawai pemungut cukai,
orang-orang berdosa dan perempuan-perempuan. Di kalangan komunitas ini, Yesus
adalah pemimpin mereka. Ia memperjuangkan masa depan mereka tidak hanya secara
sosial tetapi juga secara rohani. Ia rela menyerahkan diri-Nya demi masa depan
dan keselamatan umat manusia.
c.
Para Rasul, Nabi dan para pengikut Yesus. Setelah Yesus naik ke sorga, kelompok
ini sangat berperan dalam mengabarkan Injil dan memimpin komunitas Yesus, yang
dikemudian hari disebut komunitas Kristen. Mereka yang sangat menonjol adalah
Petrus, Yakobus, Paulus, dll.
d.
Penilik, Penatua dan Diaken. Selama dan sesudah para rasul dan nabi, kelompok
penatua dan diaken menjadi pemimpin dalam komunitas Kristen. Mereka dipilih
oleh jemaat dengan memenuhi sejumlah syarat tertentu (1 Tim. 3:1-13). Penilik
(episkopos, Fil. 1:1), juga penatua bertugas untuk melakukan penilikan terhadap
kehidupan jemaat. Jika ada anggota jemaat yang kehidupannya menyimpang dari
iman Kristen, maka mereka dinasihati untuk kembali kepada ajaran yang benar.
Sedangkan tugas para diaken, terutama melayani meja atau melayani diakonia bagi
anggota jemaat.
e.
Guru, Penginjil, dll. Di kalangan jemaat perdana, guru dan penginjil memiliki
juga peranan dalam mengajar dan memberitakan Injil. Walau mereka kurang
menonjol tetapi dihormati sebagai pemimpin dalam jemaat (Ef. 4:11).
3.
Yesus
adalah Kepala.
Dalam surat Efesus, penulis menegaskan bahwa Kristus adalah
kepala atas tubuh, yaitu gereja (Ef.2:22; 4:15; Kol. 1:18). Karena Ia telah
diangkat “jauh lebih tinggi dari segala pemerintah dan penguasa dan kekuasaan
dan kerajaan dan tiap-tiap nama yang dapat disebut, bukan hanya di dunia ini
saja melainkan juga di dunia yang akan datang. Dan segala sesuatu telah
diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat
sebagai kepala dari segala yang ada” (Ef. 1:21,22). Berdasarkan pernyataan ini
maka jelas bahwa: a), Yesus adalah Tuhan yang hidup, b), Ia memiliki kuasa yang
mutlak, c), Ia adalah pemberian Allah bagi kita, sebagai kepala atas segala
sesuatu. Maka dalam upaya kita memahami kepemimpinan dalam gereja, kita harus
menyadari bahwa di dalam gereja kita berhadapan dengan Kristus yang hidup, yang
bertindak dan memimpin gereja-Nya pada masa kini maupun masa yang akan datang.
Manusia berperan dalam gereja sebagai pemimpin, tetapi ia tidak boleh merampas
hak prerogatif Kristus. Hanya Kristus sendirilah kepala atas gereja sebagai
tubuh-Nya (Ef. 1:23; 4:15). Gereja yang dimaksudkan di sini bukan saja
berbentuk suatu lembaga, tetapi juga suatu organisme. Dan satu organisme yang
hidup hanya memiliki satu kepala. Fungsi kepala itu tidak bisa didelegasikan
kepada organ-organ lain. Semua anggota dalam satu organisme terikat kepada
hanya satu kepala. Dan di dalam satu organisme, setiap bagian berada dalam
hubungan yang kuat dengan kepala sehingga kepala mengirimkan sinyal atau
perintah secara langsung kepada setiap bagian organ. Dalam perkataan lain,
kepala berada dalam suatu sentuhan yang intim dengan semua anggotanya.
Dalam pengertian lain, pemimpin menurut PB bukanlah pertama-tama soal kedudukan
melainkan suatu relasi. Kekuasaan dengan sejumlah hak untuk melakukan kontrol
terhadap orang yang dipimpin tidak ditekankan. Fungsi Kristus sebagai kepala
adalah sebagai sumber kehidupan gereja. Sebagai kepala Ia mendukung seluruh
tubuh dan memberikan semua yang kita (gereja) butuhkan untuk bertumbuh.
B.
Tipe-tipe
Pemimpin menurut Perjanjian Baru dan Perbandingan dengan hasil Pengamatan
penulis di GBI RAHMAT EMMANUEL LCT-Glodok
Pemimpin idiologis. Pemimpin tipe
ini mungkin tidak memiliki kepribadian yang mengesankan dan cara kerja yang
sistematis. Tetapi ia memiliki idiologi yang mampu menggerakkan kelompoknya
sehingga selalu berpegang teguh kepada idiologi yang dicetuskannya. Para ahli
Taurat dan orang Farisi dapat dimasukkan ke dalam tipe pemimpin idiologis ini.
Mereka dengan ajarannya mampu mempengaruhi orang Yahudi sehingga mereka
berpegang teguh kepada ajaran mereka. Mungkin, tidak berlebihan kalau kita
mengatakan bahwa Yesus dan para rasul termasuk dalam kelompok ini juga karena
model ajaran yang mereka kembangkan.
Lain halnya dengan Pdp. Maria W. Paruntu, beliau tidak terlihat pada tipe ini, karena
menurut pengamatan penulis beliau belum mamu mempengaruhi orang-orang/pengerja
yang ada di Lindeteves Trade centre- Hayam Wuruk.
Pemimpin Kharismatis. Pemimpin tipe ini mampu menggerakkan
orang di sekitarnya dengan kharisma yang ia miliki. Penampilannya akan selalu
mempesona dan memukau para pengikut maupun orang lain yang ada di sekitarnya.
Dengan demikian ia memiliki daya tarik tersendiri. Dalam PB kita membaca bahwa
Yesus dapat dikatakan sebagai seorang pemimpin kharismatik. Karena Ia memiliki
kharisma yang menjadi daya tarik para pengikut-Nya (Mrk. 2:12; Mat. 14:33;
7:28,29 dll.). Murid-muridpun diberikan kharisma untuk melakukan mujizat yang
mencengangkan (Mrk. 6:13, Kis. 3: 1-seterusnya).
Jika pada tipe idiologis Pdp. Maria W. Paruntu tidak termasuk dalam kategori, pada tipe ini
menurut pengamatan penulis bahwa bilau dapat dikategorikan, karena beliau
memiliki penampilan yang selalu mempesona.
Pemimpin sebagai gembala. Metafor tentang pemimpin sebagai
gembala (poimen) disampaikan oleh Yesus sendiri dengan mengatakan “Akulah
gembala yang baik, Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (
Yoh. 10:11). Fungsi kepemimpinan ini dihubungkan secara erat dengan tugas
mengawasi. Dan dalam Kis. 20:28, Paulus meminta kepada para penatua di Efesus
untuk menjaga seluruh kawanan, karena mereka ditetapkan Roh Kudus menjadi
penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperolehnya dengan darah
Anak-Nya sendiri. Sayang, bahwa sapaan “gembala” ini hanya dikenakan kepada
para pendeta, padahal peranan penggembalaan dikenakan kepada semua pemimpin
dalam gereja. Dalam hubungan ini tugas seorang pemimpin sebagai gembala adalah:
pertama, menjaga kawanan domba
Allah. Soal yang timbul adalah ada juga pemimpin yang lebih menjaga dirinya
sendiri dari kawanan domba Allah. Ketika datang musuh maka ia melarikan diri (
bnd. Yoh. 10:13). Kedua, seorang gembala
memiliki tanggung jawab untuk memberi makan kepada domba-dombanya dan
melindungi mereka. Pemberian makan dan perlindungan yang dimaksud di sini
antara lain, mengajar dan memberitakan firman kepada mereka (1 Tim. 4:13; 3:2).
Ketiga, seorang gembala sebagai
pemimpin, harus memberikan bimbingan kepada mereka yang dipimpin. Sebab, tugas
membimbing berarti: memberikan penerangan, motivasi, anjuran, nasihat, yang
sedikit banyak memiliki hubungan dengan pribadi pemimpin.
Dari hasil pengamatan penulis bahwa Pdp. Maria W. Paruntu yang telah dipercayakan oleh Gembala sidang GBI
RAHMAT EMMANUEL, Pdt.Prof.DR.Abraham Conrad Supit. Hanya masuk dalam poin
pertama dari katergori tipe pemimpin sebagai gembala, dimana beliau ‘menjaga
jemaat’ yang telah dipercayakan, namun dalam hal pertanggungjawaban mengajar
dan memberitakan firman tidaklah penulis temukan, karena untuk pemberitaan dan
pengajaran firman dilakukan oleh pembicara-pembicara yang telah ditentukan dari
pusat.
C.
Memahami
Gaya-gaya Kepemimpinan dalam Perjanjian Baru
dan Perbandingan dengan hasil Pengamatan penulis di GBI RAHMAT EMMANUEL
LCT-Glodok
Fokus perhatian kita pada bagian ini adalah gaya
kepemimpinan sang pemimpin dalam upaya mencapai suatu tujuan. Berbicara tentang
gaya kepemimpinan maka setiap pemimpin, entah dalam masyarakat atau gereja,
pasti memberlakukan suatu gaya dalam kepemimpinannya (otoriter, boss, hamba,
dll). Gaya itu dapat berubah sesuai dengan tuntutan dari situasi konteks. Dalam
PB kita juga menjumpai berbagai gaya kepemimpinan yang demikian, antara lain:
1. Kepemimpinan Hamba atau Pelayan.
Gaya kepemimpinan hamba selalu menekankan kerendahan hati.
Kedudukan sebagai pemimpin bukanlah “takhta” yang di atasnya sang pemimpin
menjalankan kekuasaan dengan tangan besi, melainkan “sarana” yang melaluinya
sesama dilayani. Dalam peristiwa pertengkaran murid-murid mengenai siapakah
yang terbesar di antara mereka, Yesus mengajarkan, “Jika seorang ingin menjadi
yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan
dari semuanya” (Mrk. 9:35). Berdasarkan pengajaran ini, Yesus ingin mengubah
konsep tentang gaya kepeminpinan murid-muridNya. Sebab kebesaran yang sejati
tidak diperoleh dengan berusaha untuk menonjolkan diri satu sama lain,
melainkan dengan sikap rendah hati dan tidak menonjolkan diri, melayani semua
orang bahkan orang yang paling rendah sekalipun (Mrk. 9:36,37). Gaya
kepemimpinan hamba ini ditekankan lagi ketika ibu Yakobus dengan berani
meminta kepada Yesus agar anak-anaknya, yang seorang duduk di sebelah kanan dan
yang seorang duduk disebelah kirinya (Mat. 20:21). Lalu Yesus mengatakan, “Kamu
tahu bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan
tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.
Tidaklah demikian di antara kamu. Barang siapa ingin menjadi besar di antara
kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu…” (Mat. 20:25-26). Yesus, dengan
perkataan-Nya ini, mencela gaya kepemimpinan yang otoriter, dan yang
mengutamakan kedudukan serta gelar kehormatan. Ia melarang murid-murid-Nya
mengembangkan gaya kepemimpinan itu karena akan merusak hubungan persaudaraan
di antara mereka. Yesus menegaskan bahwa “ barangsiapa meninggikan diri, ia
akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Mat.
23: 12).
Yesus tidak hanya mengajarkan tentang kerendahan hati sebagai seorang hamba. Ia
sendiri memberikan teladan itu. Ia mengambil sehelai kain lenan dan menuangkan
air dalam basin lalu berlutut dan membasuh kaki murid-murid-Nya dan sesudah
itu Ia berpesan kepada mereka untuk melakukannya satu kepada yang lain (Yoh.
13:4-17). Terhadap perselisihan yang timbul karena benturan antara dua pemimpin
jemaat (Eoudia dan Sintikhe) di Filipi, Paulus menekankan tentang kerendahan hati
di antara mereka, sama seperti Kristus yang telah merendahkan diri sebagai
seorang hamba bahkan mati di kayu salib (Fil. 2:3-5, 5,8). Permintaan untuk
memberlakukan gaya kepemimpinan hamba atau perendahan diri perlu diberikan
perhatian yang serius. Karena kecenderungan manusia adalah kesombongan,
pementingan diri sendiri. Akibatnya timbul perpecahan, perebutan kekuasaan,
perasaan terluka, kecemburuan, kebencian, kecurigaan, di dalam pelayanan
gereja. Inilah bahaya yang sering timbul dalam gereja. Menghindari bahaya Ini,
para penatua dinasihati agar memiliki hati seorang hamba (1 Ptr. 5:5; Kis.
20:19; 1 Tim. 3:6). Sebab hanya kepemimpinan dengan hati seorang hambalah yang
akan menyatakan kehidupan Kristus kepada jemaat.
Dari pengamatan penulis bahwa gaya kepemimpinan yang
dimiliki oleh Pdp. Maria W. Paruntu,
bukanlah kepemimpinan seorang hamba, terlihat dari pelayanan yang diberikan
terhadap gereja atau terlebih kepada para pelayan Tuhan (pengerja), lebih
khususnya dibidang sekolah minggu.
2. Kepemimpinan Gembala.
Gaya kepemimpinan ini menekankan kepedulian atau
pemeliharaan dan perlindungan sang gembala terhadap yang digembalakan. Gaya
kepemimpinan ini ditampilkan oleh Yesus sendiri dan diikuti oleh para rasul.
Memang, apabila dilihat dari segi status maka seakan-akan sang gembala memiliki
status lebih tinggi dari “domba-domba” yang digembalakan. Tetapi bukan status
ini yang hendak ditekankan di sini. Yang hendak ditekankan adalah kepedulian
gembala terhadap kehidupan domba-domba yang dipercayakan kepadanya. Yesus
sendiri memberikan contoh itu. Sebagai gembala, Ia rela menyerahkan diri-Nya
demi keselamatan domba-domba-Nya itu. Dalam hubungan ini kepemimpinan gembala
menuntut pula pengorbanan. Dalam PB tugas penggembalaan adalah tugas para penatua
(Kis. 20:28; 1 Ptr. 5:2). Dewasa ini tugas gembala sering dihubungkan hanya
kepada pendeta. Bahkan para pendeta disapa secara khusus sebagai gembala,
seakan-akan para penatua bukanlah gembala. Tetapi sesungguhnya pemahaman yang
demikian tidak seluruhnya benar. Para penatua, menurut kesaksian PB sebagaimana
kita kutip di atas, juga diberikan kewenangan menggembalakan kawanan domba
Allah, sebab mereka juga adalah pemimpin jemaat. Mungkin ini salah satu sebab
mengapa banyak warga jemaat menjadi warga, termasuk penatua, yang pasif dalam
pelayanan gereja karena menganggap diri sebagai “domba” yang selalu mendapatkan
penggembalaan dari pendeta. Karena itu, konsep pemikiran ini hanya pendetalah yang gembala perlu diubah
jika kita menginginkan suatu partisipasi aktif dari seluruh warga gereja.
3. Kepemimpinan Teladan
Gaya kepemimpinan ini sangat menekankan keteladanan. Dalam
hubungan ini perlu ditegaskan bahwa para pemimpin jemaat bukan penguasa atas
orang yang dipimpin. Oleh sebab itu, mereka dituntut untuk mempengaruhi jemaat
dengan keteladanannya. Keteladanan dalam kepemimpinan dapat diumpamakan sebagai
suatu khotbah yang hidup. Seorang pemimpin jemaat, walaupun khotbahnya memukau
atau mencengangkan banyak orang, tetapi jika ia tidak mengimbangi khotbah dan
nasihatnya itu dengan keteladanan maka khotbah dan nasihatnasihatnya itu hanya
dilihat sebelah mata. Oleh sebab itu, adalah keliru jika orang berpendapat
bahwa ia hanya sebagai penyalur berita Injil, tanpa memberlakukan Injil itu
dalam kehidupannya. Permintaan Yesus dan para rasul untuk menjadi teladan bagi
jemaat membuktikan bahwa kepribadian dan tindakan seorang pemimpin harus
menjadi teladan bagi jemaat.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dengan kedewasaan spiritual yang bersumber dari firman dan
Roh Kudus itu, sang pemimpin memiliki wibawa dan kepribadian yang kuat untuk
mempengaruhi anggota kelompoknya. Pemimpin yang baik tidak hanya menyuruh
anggota kelompoknya bekerja keras tetapi ia sendiri ikut bekerja keras.
Pemimpin yang baik, tidak hanya menyuruh pengikutnya berkorban tetapi ia
sendiri harus ikut berkorban. Dengan berbuat demikian sang pemimpin memberikan
keteladanan dan memiliki wibawa terhadap kelompoknya. Perbuatan yang demikian
seperti telah kita singgung dilakukan baik oleh Yesus sendiri maupun para rasul
- tercermin dari kesaksian PB. Di kemudian hari dalam sejarah gereja kuasa atau
wibawa ini semakin besar ditekankan sehingga menimbulkan hirarkhi dengan
sejumlah jabatan struktural dalam gereja. Dalam hubungan ini pengaruh
kepemimpinan negara semakin merasuk dalam kepemimpinan gereja. Di kalangan
gereja-gereja Protestan hirarkhi kepemimpinan ini mungkin tidak terlalu besar
tetapi perlu diwaspadai sehingga tidak menghambat pelayanan dan pertumbuhan
gereja.
Keberhasilan dalam kepemimpinan Kristen tidak bisa
dilepaskan dari sumber kuasa dan wibawa, yakni Roh Kudus dan Firman Allah.
Karena itu seorang pemimpin Kristen mestinya selalu bersandar pada sumber
kuasa dan wibawa itu.
B.
SARAN
Kiranya
setelah membaca dari makalah ini, penulis mengharapkan bahwa kepemimpinan yang
telah dipercayakan tidaklah disalah gunakan, karena dengan melihat keadaan
pemimpin-pemimpin gereja saat ini, ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan
apa yang telah diharapkan oleh jemaat maupun teman kerja sepelayanan.
Jadi untuk kita semua yang sebentar lagi akan menjadi pemimpin maupun yang
dipimpin, marilah kita bersama-sama membangun kepemimpinan sebagai seorang hamba,
kepemimpinan gembala, dan kepemimpinan teladan.
A.M. Mangunhardjana, Kepemimpinan, (Yogyakarta: Kanisius,
1990), hal. 11.
Lawrence O. Richards, Clyde Hoeldtke, A Theology of Church
Leadership, (Grand Rapids Michigan: Zondevan Publishing House, 1980), hal. 17.
Alexander Strauch, Op. Cit., hal. 21-28.
Daftar
Pustaka
Lawrence
O. Richards, Clyde Hoeldtke, A Theology of Church Leadership. Grand Rapids
Michigan: Zondevan Publishing House, 1980.
A.M. Mangunhardjana, Kepemimpinan. Yogyakarta:
Kanisius, 1990