Sabtu, 26 November 2011

MEDIA PEMBELAJARAN: MEDIA PENDIDIKAN


Nama               : Riswanto Lago
Semester          : V (Lima)
Mata kuliah     : Madia pembelajar
Dosen              : Yonas Muenley
Judul buku      : Media pendidikan

Media pendidikan dan proses belajar mengajar
Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti pengantara atau pengantar. Medỏẻ adalah perantara atau pengantara pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Banyak batasan yang diberikan kepada orang tentang media, asosiasi tehnologi dan komunitas pendidikan di Amerika membatasi media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan/informasi. Gagne (1970) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang merangsangnya untuk belajar, semntara itu Bringgs berpendapat bahwa media adalh segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar.
Proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah proses komunikasi yaitu yang proses yang menyampaikan pesan dari sumber pesan melalui saluran/ media tertentu kepenerima pesan. Pesan, sumber pesan, saluran/media dan penerima pesan adalah komponen-komponen proses komunikasi. Pesan yang akan dikomunikasikan adalah isi ajaran atau pendidikan yang ada dalam kurikulum. Sumber pesanya bisa Guru, Siswa, orang lain ataupun penulis buku dan Produser media. Saluranya adalah media pendidikan dan penerima pesanya adalah sisiwa atau juga Guru.
Secara umum media pendidikan mempunyai kegunaan-kegunaan sebagai berikut
1.      Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka)
2.      Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera.
3.      Pengunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap fasik anak didik.

Adapun urutan-urutan dalam pengembagan program media itu adalah :
v  Menganalisis kebutuhan dan karakter siswa
v  Merumuskan tujuan intruksionaldengan operasional dank has.
v  Merumuskan mbutir-butir materi secara terperinci yang mendukung tercapainya tujuan
v  Mengembangkan alat pengukur keberhasilan
v  Menulis naskah media
v  Mengadakan tes dan revisi
Dalam proses belajar mengajar ada pula dinamakan analisis kebutuhan dan karakteristik  siswa yang dimaksud dengan kebutuhan siswa adalh kesenjangan antara kemampuan, kerampilan, dan sikap siswa yang mereka miliki sekarang. Sebagai perancang program media kita harus dapat mengetahui pengetahuan atau keterampilan awal siswa. Yang dimaksud dengan pengetahuan/keterampilan yang telah dimiliki siswa sebelum ia mengikuti kegiatan intruksional. Suatu program media akan dianggap terlalu mudah bagi siswa tersebut bila siswa tersebut telah memiliki sebagian besar pengetahuan/keterampilan yang disajikan oleh program media itu. Sebaliknya program akan dipandang terlalu sulit bagi siswa bila siswa belum memiliki pengetahuan /keterampilan prasyarat yang diperlukan siswa sebelum mengunakan program media itu.
Adapun perumusan tujuan merupakan suatu yang sangat penting dalm kehidupan kita. Tujuan dapat member arah tindakan yang kita lakukan. Tujuan ini juga dapat dijadikan acuan ketika kita mengukur apakah tindakan kita betul atau salah, ataukah tindakan kita berhasil atau gagal. Dalam proses belajar mengajar tujuan intrusional merupakan factor yang sangat penting. Tujuan akan member arah kemana siswa pergi, bagaimana ia pergi kesana dan bagaimana ia sampai ketempat tujuan. Tujuan ini merupakan peryataan yang menunjukan perilaku yang harus dapat dilakukan siswa setelah ia mengikuti instruksional tertentu. Contoh siswa diberika gambar binatang barbagai jenis, siswa dapat membedakan binatang bertulang belakang dari binatang yang tidak bertulang belakang., tanpa berbuat kesalahan.   



Untuk dapat merumuskan tujuan intruksional dengan baik ada beberapa ketentuan yang perlu diingat yaitu :
  1. Tujuan intruksional harus berorientasi kepada siswa bukan kepada Guru. Hal yang perlu dinyatakan dalam tujuan harus perilaku yang dapat dilakukan atau yang diharapkan dapat dilakukan siswa setelah proses intruksional selesai,jadi tujuan ini harus beriorentasi kepada hasil
  2. Tujuan harus dinyatakan dengan kata kerja yang operasional artinya kata kerja itu yang dapat menunjukan perbuatan yang dapat diamati atau yang hasilnya dapat diukur.

Untuk dapat mengembangkan bahan intruksional yang mendukung tercapainya tujuan itu, tujuan yang telah dirumuskan tadi harus dianalisis lebih lanjut. Kepada setiap tujuan itupertanyaan yang sama harus kita ajukan; kemampuan apa yang dimiliki siswa sebelum siswa memiliki kemapauan yang di tuntut oleh tujuan khusus ini ? dengan cara ini kita mendapat sub kemampuan dan sub keterampilan, serta sub-sub kemampuan dan sub-sub keterampilan. Bila semua sub kemampuan dan keterampilan serta sub-sub kemapuan dan keterampilan telah kita indentifikasi kita akan memperoleh bahan intrusional terperinci yang mendukung tercapainya tujuan itu.
Dalam setiap kegiatan intruksional, kita perlu mengkaji apakah tujuan intruksional dapat dicapai atau tidak pada akhir kegiatan intruksional itu. Untuk keperluan tersebut kita perlu mempunyai alat yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa. Alat pengukur keberhasilan harus dikembangkan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dan pokok-pokok materi pembelajaran yang akan disajikan kepada siswa. Hal yang diukur atau dievaluasikan adalah kemampuan, keterampilan atau sikap siswa yang dinyatakan dalam tujuan yang diharapakan dapat dimiliki siswa sebagai hasil kegiatan intruksional itu.
Sebaiknya setiap kemampuan dan keterampilan yang mendukung tercapainya tujuan intruksional hkusus disajikan bahan tes, atau daftar cek perilaku. Hubungan antara intruksional umum, tujuan intruksional khusus, materi intruksional, dan tes dapat digambarkan sebagai berikut



                     Sesuai                     Sesuai                           Sesuai                
 

Materi instruksio nal
TIU
TKI
Test
                                                    
 

                                                                                                       Cukup
                                  Cukup                   
                                                                    Sesuai
Dari gambar itu dapat diketahui dengan jelas bahwa tujuan intruksional khusus harus sesuai dan menunjang tercapainya tujuan intruksional umum. Materi  intruksional harus sesuai dan mendukung tercapainya tujuan intruksional khusus. Tes harus mengukur tujuan dan materi dan materi intruksional. Hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan dan tidak sesuai dengan materi intruksional jangan diujikan. 
Tujuan intruksional harus cukup, artinya semua aspek yang ada dalam ruang lingkup tujuan intruksional umum harus mempunyai tujuan khusus. Materi intruksional harus cukup, artinya semua kemampuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai semua tujuan intruksional khusus harus terjabarkan di dalam materi intruksional. Test harus cukup, artinya semua kemampuan dan keterampilan yang terangkum dalm tujuan intruksional khusus dan dalam materi intruksional seyogyanya ada alat pengukur.
Supaya media pembelajaran itu efektif pemanfaatan media itu harus direncanakan dan dirancang secara sistematis. Adapun beberapa pola pemanfaatan media pembelajaran adalah
1.      Pemanfaatan media didalam situasi kelas                                            
Dalam merencanakan pemanfaatan media itu Guru harus melaihat tujuan yang akan dicapai, materi pembelajaran yang akan mencapainya tujuan serta strategi belajarmengajar yang sesuai untuk mencapai tujuan itu.media pembelajaran yang dipilih haruslah sesuai dengan ketiga hal itu yaitu tujuan, materi, dan strategi pembelajaran.


2.      Pemanfaatan media di luar situasi kelas
Pemanfaatan media pembelajaran di luar situasi dapat di bedakan menjadi dua yaitu pemanfaatan secara bebas dan pemanfaatan secara terkontrol, Pemanfaatan media secara perorangan, kelompok atau massal
Dalam mengunakan media supaya dapat digunakan secara efektif dan efesien adalah ada tiga cara yaitu :
1.      Persiapan sebelum mengunakan media
Peralatan yang diperlukan untuk menggunakan media itu juga perlu disiapkan sebelumnya. Dengan demikian pada saat menggunakannya kita tidak akan digangu dengan hal-hal yang mengurangi kelancaran penggunaan media itu.
2.      Kegiatan selama penggunaan media
Yang perlu di jaga selama kita menggunakan media iadalah suasana ketenangan.  Ganguan-ganguan yang dapat menggangu perhatian dan konsentrasi harus dihindarkan.
3.      Kegiatan tindak lanjut
Maksud kegiatan tindak lanjut ini adalah untuk menjajagi apakah tujuan telah tercapai. Dan selain dari pada itu ialah untuk memantapkan terhadap materi intruksional yang disampaikan melalui media bersangkutan. Seprti mengisi soal test yang telah disediakan.


  

  

GAYA kepemimpinan Dalam ALKITAB Dihubungkan Dengan Hasil Pengamatan Di GBI Rahamat EMMANUEL LTC-Glodok Pdp. Maria W. Paruntu





Makalah
Diserahkan sebagai persyaratan Mata kuliah
Kepemimpinan Kristen





Oleh
Riswanto Lago
NIM: 09-540


Sekolah Tinggi Teologi IKSM Santosa Asih
Jakarta
2011






DAFTAR ISI



BAB I . PENDAHULUAN ......................................................................................................1
A.    Latar Belakang Penulisan..............................................................................................1
B.     Tujuan Penulisan ..........................................................................................................2
C.     Batasan Masalah............................................................................................................2
 
BAB II Isi ..................................................................................................................................3

A.    Mengenal Pemimpin Dalam Perjanjian Baru ................................................................3
B.     Tipe-tipe Pemimpin menurut Perjanjian Baru dan Perbandingan dengan hasil
Pengamatan Penulis di GBI Rahmat Emmanuel LTC-Glodok……………..................5
C.     Memahami Gaya-gaya Kepemimpinan dalam Perjanjian Baru  dan Perbandingan
dengan hasil Pengamatan penulis di GBI RAHMAT EMMANUEL LCT-Glodok.....6

BAB III Penutup……………………………………………………………………………..10

A.    Kesimpulan...................................................................................................................10
B.     Saran………..………………………………………………………………………...10



DAFTAR PUSTAKA



BAB I
PENDAHULUAN

Penulis mencoba menghubungkan tentang kepemimpinan dalam Perjanjian Baru dengan kepemimpinan yang ada di tempat pelayanan, penulis mulai dari uraian atas makna istilah ‘pemimpin’ dalam Perjanjian Baru sampai pada tipe dan gaya kepemimpinan yang ada dalam Perjanjian Baru. Beberapa tipe yang dikemukakan, antara lain tipe idiologis, kharismatis, dan pemimpin sebagai gembala. Sedangkan beberapa gaya kepemimpinan yang diuraikan, ialah kepemimpinan hamba, kepe­mimpinan gembala, dan kepemimpinan teladan.

A. LATAR BELAKANG PENULISAN

Kata ‘pemimpin’ dalam bahasa Yunani diterjemahkan dari kata benda: hodegos (= pemimpin, penuntun, pembimbing). Dalam bentuk kata kerja dipakai kata: hodegein (memimpin, menuntun, membim­bing). Dalam Perjanjian Baru (selanjutnya PB), kata hodegos dan hode­gein dipakai secara bervariasi. Pada satu pihak kedua kata itu dipakai dalam pengertian yang negatif. Menurut Injil-injil, beberapa kali Yesus memakai kata hodegos dan hodegein untuk menyapa orang Farisi dan para ahli Taurat yang dicap sebagai hodegoi tufloi (pemimpin-pemim­pin buta, Mat. 23:16,24), yang memimpin orang buta (hodegein tuflon). Yesus menegaskan, jika orang buta menuntun orang buta, pasti kedu­anya jatuh ke dalam lubang (Mat. 15:14, bnd. Luk. 6:39). Paulus juga memakai istilah itu untuk menyapa orang-orang Yahudi di Roma sebagai ‘penuntun orang-orang buta’ (hodegon tuflon, Rm 2:19). Penulis Injil Yohanes menyatakan bahwa apabila Roh Kebenaran itu datang, Ia memimpin (hodegesei) kamu ke dalam seluruh kebenaran, Yoh. 16:13). Juga dalam kitab Wahyu, istilah itu dikenakan kepada Anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu …akan menuntun (hodegesei) mereka (orang-orang kudus) ke mata air kehidupan. Kata yang sama dipakai oleh Sida-sida dari Etiophia ketika ia menjawab pertanyaan Felipus, “Bagaimanakah aku dapat mengerti kalau tidak ada yang membimbing (hodegesei) aku?” (Kis. 8:31).
Dari pemakaiannya itu maka nyata bahwa kata kerja: memimpin, menuntun, membimbing, memiliki beberapa arti, antara lain: menunjukkan jalan terutama berjalan di depan, menuntun, mem­bimbing, mengambil langkah awal, mempengaruhi orang dengan pan­dangan dan tindakan, memprakasai, bertindak lebih dahulu, memelo­pori, mengarahkan pikiran atau mendapat, menggerakkan orang lain de­ngan pengaruhnya, dll.[1]
Dengan menjadi pemimpin, seseorang memperoleh wibawa dan kedudukan untuk melaksanakan tugas memimpin. Walau demikian, inti suatu kepemimpinan bukan terletak pada kedudukan dan wibawa, mela­inkan pada fungsi atau tugasnya untuk mengabdi. Dalam upaya untuk mencapai cita-cita bersama maka sang pemimpin berusaha mem­pengaruhi dan memampukan kelompoknya untuk membangun suatu mekanisme, yang melaluinya tujuan bersama itu bisa tercapai. Dalam mekanisme itu ada pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai ke­mampuan atau karunia masing-masing anggota. Tanggung jawab itu harus dikerjakan sedemikian rupa sehingga mencapai hasil yang maksi­mal.

B. Tujuan Penulisan
            Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini, antara lain :
Ø  Untuk memenuhi sebagian tugas dari mata kuliah Kepemimpinan Kristen serta yang paling utama untuk meningkatkan pengetahuan penulis tentang Kepemimpinan Kristen.
Ø  Untuk memberikan sumbangsih pemikiran bagi setiap hamba-hamba Tuhan, bahwa seorang pemimpin harus memiliki ke­pemimpinan hamba, kepemimpinan gembala dan kepemimpinan teladan.
C. Batasan Masalah
            Agar makalah ini terfokus dan tidak menyimpang dari judul makalah yang akan di bahas, maka penulis memberikan batasan masalah, yakni membahas tentang tipe pemimpin dan gaya kepemimpinan dibandingkan dengan pengamatan saya mengenai pimimpin dan gaya kepemimpinan Pdp. Maria W. Paruntu adalah yang mewakili gembala SIDANG wilayah Lindeteves Trade centre- Hayam Wuruk, GBI RAHMAT EMMANUEL.




BAB II
PEMBAHASAN MATERI

A.    Mengenal para Pemimpin dalam Perjanjian Baru.

Alkitab, termasuk PB merupakan bahan yang di dalamnya Allah berfirman kepada umat-Nya. Namun bila kita membacanya dari kacamata kepemimpinan, maka nyata bahwa bahan-bahan itu menam­pilkan juga berbagai jenis pemimpin pada masa penulisannya.
1.      Pemimpin Sekuler.
Pemimpin sekuler, yakni mereka yang secara resmi dipilih atau ditunjuk untuk memangku suatu jabatan tertentu dalam pemerintahan. Mereka adalah para kaisar yang memerintah di Roma, prokurator (gu­bernur) yang memerintah di Pelestina dan para raja bawahan yang me­merintah wilayah-wilayah tertentu di Pale stina pada masa Yesus dan para rasul.
2.      Para pemimpin di bidang keagamaan.
a. Para pemimpin Yahudi. Di kalangan masyarakat Yahudi, terdapat banyak pemimpin. Para pemimpin ini terutama terdiri dari imam kepala, ahli Taurat, dan Farisi. Merekalah yang banyak disebut­-sebut oleh para penulis PB karena sering bersoal jawab dengan Yesus dan murid-murid-Nya, bahkan mereka inilah yang berusaha mempengaruhi rakyat untuk membunuh Yesus. Di kemudian hari kelompok pemimpin ini juga yang menjadi penghambat bagi upaya pekabaran Injil oleh para rasul terutama pekabaran Injil oleh Paulus.
b. Pemimpin Komunitas Yesus. Komunitas Yesus adalah satu komunitas grass root. Mereka terdiri dari para nelayan, petani kecil, pegawai pemungut cukai, orang-orang berdosa dan perempuan­-perempuan. Di kalangan komunitas ini, Yesus adalah pemimpin mereka. Ia memperjuangkan masa depan mereka tidak hanya secara sosial tetapi juga secara rohani. Ia rela menyerahkan diri-Nya demi masa depan dan keselamatan umat manusia.
c. Para Rasul, Nabi dan para pengikut Yesus. Setelah Yesus naik ke sorga, kelompok ini sangat berperan dalam mengabarkan Injil dan memimpin komunitas Yesus, yang dikemudian hari disebut komu­nitas Kristen. Mereka yang sangat menonjol adalah Petrus, Yako­bus, Paulus, dll.
d. Penilik, Penatua dan Diaken. Selama dan sesudah para rasul dan nabi, kelompok penatua dan diaken menjadi pemimpin dalam ko­munitas Kristen. Mereka dipilih oleh jemaat dengan memenuhi sejumlah syarat tertentu (1 Tim. 3:1-13). Penilik (episkopos, Fil. 1:1), juga penatua bertugas untuk melakukan penilikan terhadap kehidupan jemaat. Jika ada anggota jemaat yang kehidupannya menyimpang dari iman Kristen, maka mereka dinasihati untuk kembali kepada ajaran yang benar. Sedangkan tugas para diaken, terutama melayani meja atau melayani diakonia bagi anggota jemaat.
e. Guru, Penginjil, dll. Di kalangan jemaat perdana, guru dan penginjil memiliki juga peranan dalam mengajar dan memberitakan Injil. Walau mereka kurang menonjol tetapi dihormati sebagai pemimpin dalam jemaat (Ef. 4:11).
3.      Yesus adalah Kepala.
Dalam surat Efesus, penulis menegaskan bahwa Kristus adalah kepala atas tubuh, yaitu gereja (Ef.2:22; 4:15; Kol. 1:18). Karena Ia telah diangkat “jauh lebih tinggi dari segala pemerintah dan penguasa dan kekuasaan dan kerajaan dan tiap-tiap nama yang dapat disebut, bukan hanya di dunia ini saja melainkan juga di dunia yang akan datang. Dan segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai kepala dari segala yang ada” (Ef. 1:21,22). Berdasarkan pernyataan ini maka jelas bahwa: a), Yesus adalah Tuhan yang hidup, b), Ia memiliki kuasa yang mutlak, c), Ia adalah pemberian Allah bagi kita, sebagai kepala atas segala sesuatu. Maka dalam upaya kita memahami kepemimpinan dalam gereja, kita harus menyadari bahwa di dalam gereja kita berhadapan dengan Kristus yang hidup, yang bertindak dan memimpin gereja-Nya pada masa kini maupun masa yang akan datang. Manusia berperan dalam gereja sebagai pemimpin, tetapi ia tidak boleh merampas hak prerogatif Kristus. Hanya Kristus sendirilah kepala atas gereja sebagai tubuh-Nya (Ef. 1:23; 4:15). Gereja yang dimaksudkan di sini bukan saja berbentuk suatu lembaga, tetapi juga suatu organisme. Dan satu organisme yang hidup hanya memiliki satu kepala. Fungsi kepala itu tidak bisa didelegasikan kepada organ-organ lain. Semua anggota dalam satu organisme terikat kepada hanya satu kepala. Dan di dalam satu organisme, setiap bagian berada dalam hubungan yang kuat dengan kepala sehingga kepala mengirimkan sinyal atau perintah secara langsung kepada setiap bagian organ. Dalam perkataan lain, kepala berada dalam suatu sentuhan yang intim dengan semua anggotanya.[2] Dalam pengertian lain, pemimpin menurut PB bukanlah pertama-tama soal kedudukan melainkan suatu relasi. Kekuasaan dengan sejumlah hak untuk melakukan kontrol terhadap orang yang dipimpin tidak ditekankan. Fungsi Kristus sebagai kepala adalah sebagai sumber kehidupan gereja. Sebagai kepala Ia mendukung seluruh tubuh dan memberikan semua yang kita (gereja) butuhkan untuk bertumbuh.[3]

B.     Tipe-tipe Pemimpin menurut Perjanjian Baru dan Perbandingan dengan hasil Pengamatan penulis di GBI RAHMAT EMMANUEL LCT-Glodok

Pemimpin idiologis. Pemimpin tipe ini mungkin tidak memiliki kepribadian yang mengesankan dan cara kerja yang sistematis. Tetapi ia memiliki idiologi yang mampu menggerakkan kelom­poknya sehingga selalu berpegang teguh kepada idiologi yang dicetuskannya. Para ahli Taurat dan orang Farisi dapat dimasukkan ke dalam tipe pemimpin idiologis ini. Mereka dengan ajarannya mampu mempengaruhi orang Yahudi sehingga mereka berpegang teguh kepada ajaran mereka. Mungkin, tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa Yesus dan para rasul termasuk dalam kelompok ini juga karena model ajaran yang mereka kembangkan.
 Lain halnya dengan Pdp. Maria W. Paruntu, beliau tidak terlihat pada tipe ini, karena menurut pengamatan penulis beliau belum mamu mempengaruhi orang-orang/pengerja yang ada di Lindeteves Trade centre- Hayam Wuruk.
Pemimpin Kharismatis. Pemimpin tipe ini mampu menggerakkan orang di sekitarnya dengan kharisma yang ia miliki. Penampilannya akan selalu mempesona dan memukau para pengikut maupun orang lain yang ada di sekitarnya. Dengan demikian ia memiliki daya tarik tersendiri. Dalam PB kita membaca bahwa Yesus dapat dikatakan sebagai seorang pemimpin kharismatik. Karena Ia memiliki kharisma yang menjadi daya tarik para pengikut-Nya (Mrk. 2:12; Mat. 14:33; 7:28,29 dll.). Murid-muridpun diberikan kharisma untuk melakukan mujizat yang mencengangkan (Mrk. 6:13, Kis. 3: 1-seterusnya).[4]
Jika pada tipe idiologis Pdp. Maria W. Paruntu tidak termasuk dalam kategori, pada tipe ini menurut pengamatan penulis bahwa bilau dapat dikategorikan, karena beliau memiliki penampilan yang selalu mempesona.

Pemimpin sebagai gembala. Metafor tentang pemimpin sebagai gem­bala (poimen) disampaikan oleh Yesus sendiri dengan mengatakan “Akulah gembala yang baik, Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” ( Yoh. 10:11). Fungsi kepemim­pinan ini dihubungkan secara erat dengan tugas mengawasi. Dan dalam Kis. 20:28, Paulus me­minta kepada para penatua di Efesus untuk menjaga seluruh ka­wanan, karena mereka ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperolehnya dengan darah Anak-Nya sendiri. Sayang, bahwa sapaan “gembala” ini hanya dikenakan kepada para pendeta, padahal peranan penggembalaan dikenakan kepada semua pemimpin dalam gereja. Dalam hubungan ini tugas seorang pemimpin sebagai gembala adalah: pertama, menjaga kawanan domba Allah. Soal yang timbul adalah ada juga pemimpin yang lebih menjaga dirinya sendiri dari kawanan domba Allah. Ketika datang musuh maka ia melarikan diri ( bnd. Yoh. 10:13). Kedua, seorang gembala memiliki tanggung jawab untuk memberi makan kepada domba-dombanya dan melindungi mereka. Pemberian makan dan perlindungan yang dimaksud di sini antara lain, mengajar dan memberitakan firman kepada mereka (1 Tim. 4:13; 3:2). Ketiga, seorang gembala sebagai pemimpin, harus memberikan bimbingan kepada mereka yang dipimpin. Sebab, tugas membimbing berarti: memberikan penerangan, motivasi, anjuran, nasihat, yang sedikit banyak memiliki hubungan dengan pribadi pemimpin.
Dari hasil pengamatan penulis bahwa Pdp. Maria W. Paruntu yang telah dipercayakan oleh Gembala sidang GBI RAHMAT EMMANUEL, Pdt.Prof.DR.Abraham Conrad Supit. Hanya masuk dalam poin pertama dari katergori tipe pemimpin sebagai gembala, dimana beliau ‘menjaga jemaat’ yang telah dipercayakan, namun dalam hal pertanggungjawaban mengajar dan memberitakan firman tidaklah penulis temukan, karena untuk pemberitaan dan pengajaran firman dilakukan oleh pembicara-pembicara yang telah ditentukan dari pusat.

C.     Memahami Gaya-gaya Kepemimpinan dalam Perjanjian Baru  dan Perbandingan dengan hasil Pengamatan penulis di GBI RAHMAT EMMANUEL LCT-Glodok

Fokus perhatian kita pada bagian ini adalah gaya kepemimpinan sang pemimpin dalam upaya mencapai suatu tujuan. Berbicara tentang gaya kepemimpinan maka setiap pemimpin, entah dalam masyarakat atau gereja, pasti memberlakukan suatu gaya dalam kepemimpinannya (otoriter, boss, hamba, dll). Gaya itu dapat berubah sesuai dengan tuntutan dari situasi konteks. Dalam PB kita juga menjumpai berbagai gaya kepemimpinan yang demikian, antara lain:
1.      Kepemimpinan Hamba atau Pelayan.
Gaya kepemimpinan hamba selalu menekankan kerendahan hati. Kedudukan sebagai pemimpin bukanlah “takhta” yang di atasnya sang pemimpin menjalankan ke­kuasaan dengan tangan besi, melainkan “sarana” yang melaluinya sesama dilayani. Dalam peristiwa pertengkaran murid-murid me­ngenai siapakah yang terbesar di antara mereka, Yesus mengajar­kan, “Jika seorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya” (Mrk. 9:35). Berdasarkan pengajaran ini, Yesus ingin mengubah konsep tentang gaya kepeminpinan murid-muridNya. Sebab kebe­saran yang sejati tidak diperoleh dengan berusaha untuk menonjol­kan diri satu sama lain, melainkan dengan sikap rendah hati dan tidak menonjolkan diri, melayani semua orang bahkan orang yang paling rendah sekalipun (Mrk. 9:36,37). Gaya kepemimpinan ham­ba ini ditekankan lagi ketika ibu Yakobus dengan berani meminta kepada Yesus agar anak-anaknya, yang seorang duduk di sebelah kanan dan yang seorang duduk disebelah kirinya (Mat. 20:21). Lalu Yesus mengatakan, “Kamu tahu bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas me­reka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barang siapa ingin men­jadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu…” (Mat. 20:25-26). Yesus, dengan perkataan-Nya ini, mencela gaya kepemimpinan yang otoriter, dan yang mengutamakan kedudukan serta gelar kehormatan. Ia melarang murid-murid-Nya mengem­bangkan gaya kepemimpinan itu karena akan merusak hubungan persaudaraan di antara mereka. Yesus menegaskan bahwa “ ba­rangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Mat. 23: 12).[5] Yesus tidak hanya mengajarkan tentang kerendahan hati sebagai seorang hamba. Ia sendiri memberikan teladan itu. Ia meng­ambil sehelai kain lenan dan menuangkan air dalam basin lalu ber­lutut dan membasuh kaki murid-murid-Nya dan sesudah itu Ia ber­pesan kepada mereka untuk melakukannya satu kepada yang lain (Yoh. 13:4-17). Terhadap perselisihan yang timbul karena benturan antara dua pemimpin jemaat (Eoudia dan Sintikhe) di Filipi, Paulus menekankan tentang kerendahan hati di antara mereka, sama seperti Kristus yang telah merendahkan diri sebagai seorang hamba bahkan mati di kayu salib (Fil. 2:3-5, 5,8). Permintaan untuk memberlaku­kan gaya kepemimpinan hamba atau perendahan diri perlu diberi­kan perhatian yang serius. Karena kecenderungan manusia adalah kesombongan, pementingan diri sendiri. Akibatnya timbul perpe­cahan, perebutan kekuasaan, perasaan terluka, kecemburuan, kebencian, kecurigaan, di dalam pelayanan gereja. Inilah bahaya yang sering timbul dalam gereja. Menghindari bahaya Ini, para penatua dinasihati agar memiliki hati seorang hamba (1 Ptr. 5:5; Kis. 20:19; 1 Tim. 3:6). Sebab hanya kepemimpinan dengan hati seorang hambalah yang akan menyatakan kehidupan Kristus kepada jemaat.[6]
Dari pengamatan penulis bahwa gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh Pdp. Maria W. Paruntu, bukanlah kepemimpinan seorang hamba, terlihat dari pelayanan yang diberikan terhadap gereja atau terlebih kepada para pelayan Tuhan (pengerja), lebih khususnya dibidang sekolah minggu.

2.      Kepemimpinan Gembala.
Gaya kepemimpinan ini menekankan ke­pedulian atau pemeliharaan dan perlindungan sang gembala terha­dap yang digembalakan. Gaya kepemimpinan ini ditampilkan oleh Yesus sendiri dan diikuti oleh para rasul. Memang, apabila dilihat dari segi status maka seakan-akan sang gembala memiliki status le­bih tinggi dari “domba-domba” yang digembalakan. Tetapi bukan status ini yang hendak ditekankan di sini. Yang hendak ditekankan adalah kepedulian gembala terhadap kehidupan domba-domba yang dipercayakan kepadanya. Yesus sendiri memberikan contoh itu. Se­bagai gembala, Ia rela menyerahkan diri-Nya demi keselamatan domba-domba-Nya itu. Dalam hubungan ini kepemimpinan gemba­la menuntut pula pengorbanan. Dalam PB tugas penggembalaan adalah tugas para penatua (Kis. 20:28; 1 Ptr. 5:2). Dewasa ini tugas gembala sering dihubungkan hanya kepada pendeta. Bahkan para pendeta disapa secara khusus sebagai gembala, seakan-akan para penatua bukanlah gembala. Tetapi sesungguhnya pemahaman yang demikian tidak seluruhnya benar. Para penatua, menurut kesaksian PB sebagaimana kita kutip di atas, juga diberikan kewenangan menggembalakan kawanan domba Allah, sebab mereka juga adalah pemimpin jemaat. Mungkin ini salah satu sebab mengapa banyak warga jemaat menjadi warga, termasuk penatua, yang pasif dalam pelayanan gereja karena menganggap diri sebagai “domba” yang selalu mendapatkan penggembalaan dari pendeta. Karena itu, konsep pemikiran ini  hanya pendetalah yang gembala perlu diu­bah jika kita menginginkan suatu partisipasi aktif dari seluruh war­ga gereja.


3.      Kepemimpinan Teladan
Gaya kepemimpinan ini sangat menekankan keteladanan. Dalam hubungan ini perlu ditegaskan bahwa para pemimpin jemaat bukan penguasa atas orang yang di­pimpin. Oleh sebab itu, mereka dituntut untuk mempengaruhi jemaat dengan keteladanannya. Keteladanan dalam kepemimpinan dapat diumpamakan sebagai suatu khotbah yang hidup. Seorang pemimpin jemaat, walaupun khotbahnya memukau atau mence­ngangkan banyak orang, tetapi jika ia tidak mengimbangi khotbah dan nasihatnya itu dengan keteladanan maka khotbah dan nasihat­nasihatnya itu hanya dilihat sebelah mata. Oleh sebab itu, adalah keliru jika orang berpendapat bahwa ia hanya sebagai penyalur be­rita Injil, tanpa memberlakukan Injil itu dalam kehidupannya. Permintaan Yesus dan para rasul untuk menjadi teladan bagi jemaat membuktikan bahwa kepribadian dan tindakan seorang pemimpin harus menjadi teladan bagi jemaat.















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dengan kedewasaan spiritual yang bersumber dari firman dan Roh Kudus itu, sang pemimpin memiliki wibawa dan kepribadian yang kuat untuk mempengaruhi anggota kelompoknya. Pemimpin yang baik tidak hanya menyuruh anggota kelompoknya bekerja keras tetapi ia sendiri ikut bekerja keras. Pemimpin yang baik, tidak hanya menyuruh pengikutnya berkorban tetapi ia sendiri harus ikut berkorban. Dengan berbuat demikian sang pemimpin memberikan keteladanan dan memi­liki wibawa terhadap kelompoknya. Perbuatan yang demikian seperti telah kita singgung dilakukan baik oleh Yesus sendiri maupun para ra­sul - tercermin dari kesaksian PB. Di kemudian hari dalam sejarah gereja kuasa atau wibawa ini semakin besar ditekankan sehingga menimbulkan hirarkhi dengan sejumlah jabatan struktural dalam gereja. Dalam hubungan ini pengaruh kepemimpinan negara semakin merasuk dalam kepemimpinan gereja. Di kalangan gereja-gereja Protestan hirarkhi kepemimpinan ini mungkin tidak terlalu besar tetapi perlu diwaspadai sehingga tidak menghambat pelayanan dan pertumbuhan gereja.

Keberhasilan dalam kepemimpinan Kristen tidak bisa dilepaskan dari sumber kuasa dan wibawa, yakni Roh Kudus dan Firman Allah. Karena itu seorang pemimpin Kristen mestinya selalu ber­sandar pada sumber kuasa dan wibawa itu.

B.     SARAN
Kiranya setelah membaca dari makalah ini, penulis mengharapkan bahwa kepemimpinan yang telah dipercayakan tidaklah disalah gunakan, karena dengan melihat keadaan pemimpin-pemimpin gereja saat ini, ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan apa yang telah diharapkan oleh jemaat maupun teman kerja sepelayanan. Jadi untuk kita semua yang sebentar lagi akan menjadi pemimpin maupun yang dipimpin, marilah kita bersama-sama membangun kepemimpinan sebagai seorang hamba, kepe­mimpinan gembala, dan kepemimpinan teladan.


[1] A.M. Mangunhardjana, Kepemimpinan, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 11.

[2] Lawrence O. Richards, Clyde Hoeldtke, A Theology of Church Leadership, (Grand Rapids Michigan: Zondevan Publishing House, 1980), hal. 17.

[3] Ibid., hal. 21.

[4] Untuk penjelasan yang lebih mendetail, baca: Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis, Tinjauan Teologis Etis atas Kepemimpinan Kharismatis Sukarno (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hal. 149-168
[5] Alexander Strauch, Manakah yang Akitabiah, Kepenatuaan atau Kependetaan, (Yagyakarta: Yayasan Andi, 1986), hal. 21-23
[6] Alexander Strauch, Op. Cit., hal. 21-28.



Daftar Pustaka

Alexander Strauch, Manakah yang Akitabiah, Kepenatuaan atau Kependetaan.
Yagyakarta: Yayasan Andi, 1986.

Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis, Tinjauan Teologis Etis atas Kepemimpinan
Kharismatis Sukarno. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.

Lawrence O. Richards, Clyde Hoeldtke, A Theology of Church Leadership. Grand Rapids
Michigan: Zondevan Publishing House, 1980.

A.M. Mangunhardjana, Kepemimpinan. Yogyakarta: Kanisius, 1990